I. Pengertian Hukum
I. I. Apakah Sebenarnya Hukum Itu
Pernyataan ini yang mulai timbul pada setiap orang yang mulai mempelajari ilmu Hukum. Dahulu orang biasanya menjawab pertanyaan ini dengan memberikan defenisi yang indah-indah. Definisi memang berharga, lebih-lebih jika definisi itu adalah hasil pikiran dan penyelidikan sendiri yakni definisi yang dirumuskan pada akhir pelajaran. Juga definisi pada permulaan pelajaran ada manfaatnya, karena pada saat itu diberikan sekedar pengertian pada orang yang baru mulai mempelajari ilmu pengetahuan. Akan tetapi kurang tepat kiranya untuk memberikan definisi tentang apakah yang dinamakan Hukum itu.
Menurut Prof. Mr. L.J. van Apeldoorn dalam bukunya yang benrjudul "Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht (terjemahan Oetarid Sadino, SH dengan nama "Pengantar Ilmu Hukum), bahwa adalah tidak mungkin memberikan suatu defmisi tentang apakah yang disebut Hukum itu.
Definisi tentang Hukum, kata prof. van Apeldoorn, adalah sangat sulit untuk dibuat, karena itu tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan.
Kurang lebih 200 tahun yang lalu Immanuel Khant pernah menulis sebagai berikut: " Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begziffe von Recht" (masih juga para sarjana hukum mencari-cari suatu defnisi tentang hukum).
Sesungguhnya ucapan Khant hingga kini masih berlaku, sebab telah banyak benar Sarjana Hukum mencari suatu batasan tentang Hukum namun setiap pembatasan tentang Hukum yang diperoleh, belum pemah memberikan kepuasan.
I .2. Hukum Menurut Pendapat Para Sarjana
Hampir semua Saijana Hukum memberikan pembatasan Hukum yang berlainan, kata Prof. van Apeldoom. Penulis—penulis Ilmu Pengetahuan Hukum di Indonesia juga sependapat dengan Prof. van. Apeldoom, seperti Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, SH. menulis sebagai berikut, "...Jikalau kita menanyakan apakah yang dinamakan Hukum, maka kita akan menjumpai tidak adanya persesuaian pendapat. Berbagai permasalahan “ perumusan yang dikemukakan".
Sebagai gambaran, Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, SH. lalu memberikan contoh-contoh tentang defniisi Hukum yang berbeda—beda, sebagai berikut :
1) Aristoteles:
"Particular law is that which each community lays down and alies to its own members. Universal law is the law of nature".
2) Grotius:
"Law is a rule of moral action obliging to that which is right".
3) Hobbes:
"Where as law, properly is the word of him, that by right command over others".
4) Prot Mn Dr. C. van Vollenhoven:
"Recht is een verschijnsel in rusteloze wisselwerking van stuw en tegenstuw".
5) Philip S. James, MA:
"Law is body of rule for the guidance of human conduct which are imposed upon, and enforced among the members of a given State".
Masih banyak lagi definisi Hukum dari pada Sarjana Hukum lain yang diantaranya dapat diterjemahkan sebagai berikut:
a. Prof. Mr. E.M. Meyers dalam bukunya "De Algemene begrifen van het Burgerlijk Recht".
Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan ke susilaan, ` ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi Penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugas-nya".
b. Leon Duguit: : Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu".
c. Immanuel Kant: "Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan".
Bahkan Prof. Claude du Pasquier dalam bukunya yang berjudul "Introduction ala theorie general et ala philosophic du Droit" telah pernah mengumpulkan 17 buah definisi hukum, yang masing-masing definisi menonjolkan segi tertentu dari hukum.
Adapun sebabnya mengapa hukum itu sulit diberikan definisi yang tepat, ialah karena hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu definisi, seperti seorang bekas Guru Besar Universiteit van Indonesia Dr. W.L.G. Lemaire dalam bukunya "Het Reeh in Indonesia":
"... De veelzijdigheid en veelomavaendheid van hetlrecht brengen niet aen met zich, dat het onmogelijk is in een enkele definitie aan te geven wat rccht is" (Banyaknya segi dan luasnya isi hukum itu) tidak memungkinkan perumusan hukum dalam Suatu definisi tentang apakah sebenarnya hukum itu.
Selanjutnya Prof. van Apeldoorn dalam bukunya telah disebutkan di atas mengatakan, bahwa barangsiapa hendak mengenal sebuah gunung, maka seharusnya ia melihat sendiri gunung itu, demikian pula barangsiapa ingin mengenal Hukum, ia pun harus melihatnya pula.
Namun jika kita ingin melihat Hukum, kita lalu berhadapan dengan suatu kesulitan, oleh karena gunung itu dapat dilihat, tetapi hukum tidak dapat kita lihat, Sesungguhnya kita dapat mengetahui adanya Hukum itu, bila mana kita melanggarnya, yakni pada waktu kita berhadapan dengan Polisi, Jaksa dan Hakim, terlebih jika kita berada dalam penjara.
Akan tetapi walaupun Hukum itu tidak dapat kita lihat, namun sangat penting ia bagi kehidupan masyarakat, karena Hukum itu mengatur perhubungan antara anggota masyarakat itu dengan masyarakatnya. Artinya, hukum itu mengatur “ hubungan antara manusia perscorangan dengan masyarakat.
Perhubungan itu bermacam·macam bentuknya, seperti hubungan dalam perkawinan, tempat kediaman (domisili), pekerjaan, perjanjian dalam perdagangan dan lain-lain. Semua perhubungan yang beraneka ragam itu dinamakan perhubungan kamasyarakatan yang diatur oleh apa yang disebut Hukum itu. Dan karena lapangan Hukum itu luas sekali, menyebabkan Hukum itu dapat diadakan suatu defmisi singkat yang meliputi segalanya.
Namun dalam hubungan ini, Prof. Kusumadi Pujusewojo, SH dalam buku beliau " Pedoman Pelajaran Tata Hukum Ind0nesia" menulis sebagai berikut Selanjutnya hendaknya diperhatikan, bahwa untuk dapat mengerti sungguh- sungguh segala suatu tentang hukum dan mendapat pandangan yang selengkapnya, tidak dapat hanya mempelajari buah karangan satu atau dua orang. Setiap pengarang hanya mengemukakan segi-segi tertentu sebagaimana dilihat olehnya".
Kiranya perlu pula diperhatikan ucapan Prof. Mr Paul Scolten, bahwa hanyalah siapa yang berkali·kali belajar menimbang pendapat hukum yang satu terhadap pendapat hukum lainnya, dengan menginsyati bahwa dalam hukum kedua-duanya pendapat itu ada juga sesuatu yang dapat dibenarkan, hanya dialah yang dapat menjadi Sarjana Hukum.
1.3. Definisi Hukum Sebagai Pegangan
Sesungguhnya apabila kita meneliti benar-benar, akan sukar bagi kita untuk memberi definisi tentang hukum, sebab para sarjana hukum sendiri belum dapat merumuskan suatu defmisi hukum yang memuaskan semua pihak.
Akan tetapi walaupun tak mungkin diadakan suatu batasan yang lengkap tentang apakah hukum itu, namun Drs. E. Utrecht, SH dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Dalarn Hukum Indonesia" (1953) telah mencoba membuat suatu batasan, yang maksudnya sebagai pegangan bagi orang yang sedang mempelajari Ilmu Hukum.
Hanya diingatkan, bahwa definisi yang diberikan Drs. E. Utrecht, SH itu merupakan pegangan semata yang maksudnya menjadi satu pedoman bagi setiap wisatawan hukum yang sedang benamasya di alam hukum. Utrecht memberikan batasan Hukum sebagai berikut: "Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu',.
Selain Utrecht juga beberapa Sarjana Hukum Indonesia lainnya telah berusaha merumuskan tentang apakah Hukum itu, yang diantaranya ialah:
a. S.M Amin, SH
Dalam buku beliau berjudul "Bertamasya ke Alam Hukum," hukum yang dirumuskan sebagai berikut: "Kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan saksi—sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketettiban terpelihara".
b. J.C.T Simorangkir S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H
Dalam buku yang disusun besama berjudul "Pelajaran Hukum Indonesia" telah diberikan definisi hukum sebagai berikut: "Hukum itu ialah peraturan peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh Badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu."
c. M.H. Tirtaamidjaya, S.H
Dalam buku beliau "Pokok-pokok Hukum Perniagaan" ditegaskan, bahwa "Hukum ialah semua aturan (norma) yang hams diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang yang akan kehilangan kemerdekaan, didenda dan sebagainya".
1.4. UNSUR-UNSUR HUKUM
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan para Sarjana Hukum Indonesia tersebut di atas, dapatlah diambil kcsimpulan, bahwa Hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan itu bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas
I .5. CIRI-CIRI HUKUM
Untuk dapat mcngcnal hukum itu kita harus dapat mcngcnal ciri-cid hukum yaitu:
a. Adanya perintah dan/atau larangan
b. perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang
Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata-tcrtib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan dengan orang yang satu dengan yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan Kaidah Hukum.
Barang siapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu Kaedah Hukum akan dikenakan sanksi (sbagai akibat pelanggaran Kaedah Hukum) yang berupa hukuman.
Hukuman atau pidana itu bcrmacam-macam jcnisnya, yang menurut pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ialah:
a. Pidana pokok, yang terdiri dari
1). Pidana mati
2 ). Pidana penjara:
a) Seumur hidup
b) Sementara (setinggi tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya satu tahun) atau pidana penjara selama waktu tenentu.
3). Pidana kurungan, sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya satu tahun
4). Pidana denda (sebagai pengganti hukuman kurungan)
5). Pidana tutupan
b. Pidana Tambahan, yang terdiri dari:
1). Pencabutan hak-hak tertentu
2). Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu
3). Pengumuman keputusan hakim.
7.4. SIFAT DARI HUKUM
Telah dijelaskan di atas, bahwa tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara, maka haruslah kaedah-kaedah hukum itu ditaati. Akan tetapi tidaklah semua orang mau mentaati kaedah-kaedah hukum itu, dan agar supaya sesuatu peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi Kaedah Hukum, maka peraturan hidup kemasyarakatan itu harus diperlengkapi dengan unsur memaksa.
Dengan demikian Hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata—tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau mentaatinya.
2. Tujuan Hukum
Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam hubungan antara anggota masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan anggota masyarakat itu.
Dengan banyak aneka ragamnya hubungan itu, para anggota masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat. Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antara anggota masyarakat, diperlukan aturan—aturan hukum yang diadakan atas kehendak dari kesadaran tiap—tiap anggota masyarakat itu.
Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat. Setiap hubungan kemasyarakatan tak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Setiap pelanggar hukum yang ada, akan dikenakan sanksi berupa hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan. Untuk menjaga agar peraturan peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima oleh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dan masyarakat tersebut.
Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas- asas keadilan dari masyarakat itu.
Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal beberapa pendapat sarjana ilmu hukum yang diantaranya sebagai berikut:
I. PROF SUBEKTI, S.H
Dalam buku yang berjudul "Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan," Prof.Subekti, S.H mengatakan, bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah: mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
Hukum, menurut Prof. Subekti, S.H melalui tujuan Negara tersebut dengan menyelenggarakan "keadilan" dan "ketertiban", syarat-syarat pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Ditegaskan selanjutnya, bahwa keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadilan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoneangan.
Keadilan selalu mengundang unsur "penghargaan," "peni1aian" atau "pertimbangan" dan karena itu ia lazim dilambangkan suatu "neraca keadilan."
Dikatakan bahwa keadilan itu menuntut bahwa "dalm keadaan yang sama setiap orang harus menerima bagian yang sama pula".
Dari mana asalnya keadilan itu? Keadilan, menurut Prof. Subekti, S.H, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa; tetapi seorang manusia diberi keeakapan atau kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil. Dan segala kejadian di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasar dasar keadilan itu pada manusia.
Dengan demikian maka dapat kita lihat bahwa hukum tidak saja harus mencari keseimbangan antara perbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, untuk mendapatkan "keadilan" tetapi hukum juga harus mendapatkan keseimbangan lagi antara tuntutan keadilan tersebut dengan tuntutan "ketertiban" atau "kepastian hukum".
2. PROE MR. DR. L.J. VAN APELDOORN
Prof. van Apeldoom dalam bukunya "Inleiding tot de studie van het Nederlandse reeht" mengatakan, bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia seeara damai. Hukum menghendaki perdamaian.
Perdamaian diantara manusia dipertahankan 0leh hukum dengan melindungi kepentingamkepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda pihak yang merugikannya.
Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongan— golongan manusia. Pertentangan kepentingan ini dapat menjadi pertikaian bahkan dapat menjelma menjadi peperangan, seandainya hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian.
Adapun hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan itu seeara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan, jika ia menuju persatuan yang adil;
artinya peraturan pada manusia terdapat keseimbangan antara kepentingan- kepentingan yang dilindungi, pada setiap erang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya, Keadilan tidak dipandang sama arti dengan persamarataan.
Keadilan bukan beranti bahwa tiap-tiap orang mempereleh bagian yang sama. Dalam tulisarmya "Rhetorica," Aristoteles membedakan dua macam keadilan, yaitu keadilan "distributif" dan keadilan "komutatit".
Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing-masing). Ia tidak menuntut supaya tiap—tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan.
Dalam hal ini Prof, van Apeldoom memberi contoh yang berikut: "Bila dalam pasal 5 Undang-Undang Dasar Belanda mengatakan: Tiap·tiap orang belanda dapat diangkat tiap-tiap jabatan, maka ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi Menteri, melainkan bahwa jabatan-jabatan harus diberikan kepada mereka yang berdasarkan jasa-jasanya dan patut memperolehnya".
Bandingkan dengan UUD-1945 pasal 27 ayat 2: ("tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan").
Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan. Ia memegang peranan dalam tukar menukar; pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan.
Keadilan komutatif lebih-lebih menguasai hubungan antara perseorangan khusus, sedangkan keadilan distributif temtama menguasai hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan khusus,
3. TEORI ETIS
Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukuman itu semata-mata menghendaki keadilan. Teori-teeri yang mengajarkan hal tersebut dinamakan teori etis, karena menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Teori ini menumt Prof. van Apeldoom berat sebelah, karena ia melebihkan kadar keadilan hukum, sebab ia cukup memperhatikan keadaan yang sebenarya.
Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang—orang dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan peraturan umum.
Tertib hukum yang mempunyai peraturan bukan, tertulis atau tidak tertulis, tak mungkin, kata Prof. van Apeldoorn. Tak adanya peraturan umum, berarti ketidaktentuan yang sungguh-sungguh mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil. Dan ketidaktentuan inilah yang selalu akan menyebabkan keadaan yang tidak teratur.
Dengan demikian hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan. Tetapi keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut supaya setiap perkara harus ditimbang tersendiri.
Oleh karena itu kadang—kadang pembentuk undang—undang sebanyak mungkin memenuhi tuntutan tersebut dengan merumuskan peraturan-peraturannya sedemikian rupa, sehingga hakim diberikan kelonggaran yang besar dalam melakukan peraturan- peraturan tersebut atas hal—hal yang khusus.
4. G E N Y
Dalam "Seienee et teehnique en droit prive p0sitif," Geny mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Dan sebagai unsur daripada keadilan disebutkannya " kepentingan daya guna dan kemanfaatan".
5. BENTHAM (TEORI UTILITIS)
Jeremy Bentham dalam bukunya "Introduktion to the morals and legislation" berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
Dan karena apa yang berfaedah kepada orang yang satu, mungkin merugikan orang lain, maka menurut teori utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama daripada hukum. Dalam hal ini, pendapat Bentham dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum, namun tidak memperhatikan unsur keadilan.
Sebaliknya Mr J.H.P. Beefroid dalam bukunya "Inleiding tot de Reehtswetenschap in Nederland "mengatakan: "De inhoud van het reeht dient te worden bepalald onder leiding van twee grondbeginselen, t.w.de reehtvaardigheid en de doeatigheid (isi hukum harus ditentukan menumt dua azas, yaitu asas keadilan dan faedah).
6. PROE MR J. VAN KAN
Dalam buku "Inleiding tot de Reehtwetenschap" Prof.van Kan menulis antara lain sebagai berikut: "Jadi terdapat kaedah-kaedah agama, kaedah-kaedah kesusilaan, kaedah-kaedah kesopanan, yang semuanya bersama-sama ikut berusaha dalam penyelenggarran dan perlindungan kepentingan-kepétingan orang dalam masyarakat.
Apakah itu telah cukup? Tidak! Dan tidaknya karena dua sebab yaitu:
a. Terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur baik oleh kaedah-kaedah agama, kesusilaan maupun kesopanan, tetapi temyata memerlukan perlindungan juga.
b. Juga kepentingan kepentingan yang telah diatur oleh kaedah-kaedah tersebut di atas, belum cukup terlindungi.
Oleh karena kedua sebab ini kepentingan kepentingan orang dalam masyarakat tidak cukup terlindungi dan terjamin, maka perlindungan kepentingan itu diberikan kepada hukum.
Selanjutnya Prof. van Kan mengatakan, bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.
Jelas disini, bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu dapat disebutkan bahwa hukum menjaga dan meneegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenriehting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Namun tiap perkara, harus diselesaikan melalui proses pengadilan, dengan perantaraan hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar namun tetap jaga kesopanan